Pernah
mendengar istilah Demokrasi adalah Democrazy. Hal ini dikarenakan salah satu
keuntungan dari Demokrasi adalah kebebasan berpendapat tetapi kebebasan ini
menimbulkan potensi konflik dimana-mana. Seringkali kebebasan berpendapat
banyak dijumpai pada media sosial. Kekuatan media sosial membuktikan bahwa
opini dapat menggiring publik untuk melakukan aksi. Contoh kasus yang dapat
diangkat pada tulisan ini adalah kasus dari Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki
Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan Ahok yang dinilai umat Islam
telah menistakan agama. Awalnya pemberitaan kasus Ahok tidak menjadi
perbincangan yang besar di masyarakat. Tetapi banyak kalangan para tokoh pemuka
agama Islam menilai pemerintah lamban dalam menangani kasus Ahok sehingga banyak
muncul opini di media sosial untuk melakukan aksi damai guna menyatukan umat
Islam agar peduli terhadap kasus tersebut. Disamping ada pendapat masyarakat
bahwa kasus Ahok berhubungan dengan politik yang sedang terjadi dalam Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta 2017, tetapi dapat ditekankan bahwa
kebebasan berpendapat yang ingin menyatukan ideologi melalui penggiringan opini
demi kepentingan golongan tertentu dengan tidak mempedulikan nilai-nilai budaya
lain dalam masyarakat yang bernegara berdasarkan pancasila sebagai pandangan
hidup yang menyatukan bangsa Indonesia maka potensi konflik akan terjadi. Dan
juga dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari siapa yang benar dan
salah. Seperti yang dijelaskan dalam bukunya Liliweri dikatakan, Pelbagai
pengalaman di dunia juga menunjukkan bahwa telah terjadi dialektika antara
budaya individu dengan sosial-budaya, interaksi antarpribadi adalah lebih
penting, tetapi ternyata individu juga dilahirkan dalam sebuah dunia sosial
yang luas yang acapkali telah terlibat dalam konflik dan perseteruan
antarbudaya. Kadang-kadang individu tidak mengetahui asal mula konflik antaretnik,
namun ikut terlibat di dalamnya (Liliweri: 38: 2002).
Kebebasan
berpendapat telah terjadi perubahan, dimana pada masa orde baru semua bentuk
media televisi, radio atau koran mendapatkan pengawasan yang ketat dari
Departemen Penerangan sehingga meminimalisir adanya perang wacana atau
perbedaan pandangan demi menjaga stabilitas negara. Tetapi kebijakan ini
memiliki kelemahan yaitu membuat masyarakat menjadi kurang kritis karena
keterbukaan informasi sangat dibatasi. Berbeda pada masa sekarang yang menjadikan
kebebasan berbendapat diartikan oleh masyarakat menjadi bebas sebebasnya,
sehingga dengan mudah masyarakat beropini seenaknya saja di media sosial yang
berakibat menimbulkan potensi konflik. Untuk itu pemerintah sudah menetapkan UU
ITE guna melakukan pengawasan kepada pengguna media sosial. Pada kasus Ahok
terdapat banyak pengguna media sosial yang tersulut atas opini-opini yang sudah
ada dan mereka banyak yang hingga sekarang memposting dengan menghujat menjelekkan
Ahok atas penistaan agama yang dilakukannya. Sebenarnya dengan adanya UU ITE,
pengguna media sosial tersebut dapat terjerat hukum kasus pidana. UU ITE bisa
menjadi harapan dari pemerintah agar masyarakat yang ingin mempersoalkan perkara
masalah dapat melewati jalur hukum karena negara ini adalah negara hukum dan
pemerintah sendiri berharap penegak hukum bisa adil dan transparan dalam
memproses hukum. Seperti pada kasus Ahok, seharusnya masyarakat mempercayai
pemerintah dalam memproses kasus tersebut dan tidak ada lagi opini-opini yang
menghujat menjelekkan Ahok yang bisa menyulutkan potensi konflik. Disisi lain
dengan adanya UU ITE bukan berarti mengurangi kritis masyarakat terhadap
realita sosial yang ada.
Kasus
Ahok telah membuktikan ketika pemerintah lamban dalam memproses kasus tersebut
maka umat Islam dapat bersatu untuk menyuarakan agar kasus Ahok segera diproses
dengan cara aksi damai. Potensi konflik yang bisa terjadi adalah dampak dari
aksi damai tersebut seperti terjadi kasus SARA (Suku, Ras dan Agama), misal
ketakutan untuk hidup berdampingan yang nantinya dirasakan etnis tionghoa
(seperti yang diketahui Ahok memiliki keturunan Chinese) dan umat agama lain
serta timbulnya banyak wacana pembenaran tentang agama akan memperkeruh potensi
konflik. Setelah aksi damai yang pertama dilakukan, muncul wacana untuk
memenjarakan Ahok. Padahal setelah aksi damai yang pertama, pemerintah sedang
memproses kasus tersebut. Wacana untuk memenjarakan Ahok gencar dilakukan di
media sosial sehingga terdapat ajakan untuk melakukan aksi damai yang kedua dan
hal itu terjadi. Cara ini layaknya seperti aksi damai yang pertama. Sejatinya
demokrasi dengan bebas berpendapat yang dilakukan umat Islam pada kasus Ahok
bertujuan untuk menyuarakan keadilan. Tindakan umat Islam ini menandakan adanya
ketidakpercayaan terhadap Pemerintah dikarenakan takutnya nanti hukum yang
berjalan tidak bisa adil. Hal ini berbahaya untuk stabilitas negara, ketika
suatu massa yang banyak tidak percaya lagi dengan pemerintah maka potensi
konflik yang nyata akan terjadi. Untuk itu pemerintah sebagai bagian yang
menjadi penegak hukum di masyarakat harus adil dan transparan dalam memproses
kasus Ahok dan umat Islam harus percaya terhadap penegak keadilan di negeri ini
sehingga kasus Ahok dapat terselesaikan.
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu mempunyai potensi konflik, baik itu konflik antar
individu atau dengan kelompok. Hak manusia untuk berpendapat didasarkan pada
identitas budaya yang dimilikinya. Artinya potensi konflik didapatkan karena
adanya persinggungan perbedaan pandangan atas identitas budaya yang dimiliki.
Identitas budaya yang dimaksud berkaitan dengan kebiasaan, perilaku,
nilai-nilai, struktur, pengetahuan dan norma yang dipahami secara bersama.
Contoh dari identitas budaya seperti agama, organisasi sosial, suku dan ras. Potensi
konflik menimbulkan adanya pihak yang menguasai dan dikuasai. Dalam menangani
konflik dibutuhkan perantara guna menengahi pihak yang berkonflik. Perantara
tersebut bisa melalui ruang publik seperti jalur hukum atau dialog pertemuan
secara kekeluargaan. Sedikit berbeda ketika mengacu pada pandangan dari
Habermas (dalam bukunya Hardiman) dikatakan, Ruang publik itu memungkinkan para
warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu
menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk
menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi
komunikasi – bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan
tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat
mengenali ciri informal dan inklusifnya, karena istilah “ruang publik” atau –
dalam bahasa jerman – Offentlichkeit
berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” (allgemeine Zuganglichkeit) dan mengacu pada ciri terbuka dan
inklusif ruang ini. Karakteristik ruang publik politis ini dapat dihubungkan
dengan ciri-ciri diskursus praktis yang telah dibahas di atas (Hardiman: 135:
2009).
Dalam
menangani konflik, semua pihak perlu memahami perbedaan identitas budaya dari
pihak-pihak yang terlibat. Pada kasus penistaan agama yang dialami Ahok,
berawal dari keresahan Ahok saat menyampaikan pembicaraannya mengenai banyak
tokoh agama Islam selama ini menyudutkan beliau ketika berpolitik yang melarang
umat Islam memilih pemimpin selain beragama Islam sesuai kitab suci Al-Qur’an
sedangkan umat Islam membenarkan jika memilih pemimpin diharuskan beragama
Islam. Dalam kasus ini terdapat perbedaan pandangan dari identitas budaya yang
dimiliki Ahok dengan umat Islam. Seperti yang diketahui bahwa Ahok sendiri
beragama Nonis (Non Islam) sehingga memiliki budaya pemahaman pengetahuan
beragama yang berbeda dengan agama Islam. Maka penting peranan negara yang
tegas untuk hadir memperantarai kasus tersebut.
Terkait
dengan isu-isu perbedaan pandangan dalam beragama, di Indonesia tidak akan
lepas dari sosok Alm. Dr. K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus
Dur. Beliau menjadi tokoh yang plural dengan nilai-nilai toleransi yang sangat
kuat. Semasa hidupnya Gus Dur sering menghadiri perayaan suci agama selain
Islam sebagai rasa hormat umat antar beragama yang hidup berdampingan, begitu
sebaliknya ketika ada perayaan hari besar Islam Gus Dur mengundang tokoh lintas
agama untuk turut hadir. Sosok Gus Dur begitu sadar betul bahwa negeri ini terdapat
banyak suku, agama, etnis dan ras sehingga penting untuk menjaga persatuan dan perdamaian.
Figur Gus Dur relevansinya ketika disandingkan dengan kasus Ahok menjadi
penting adalah untuk mengemban nilai-nilai toleransi dari Gus Dur, maksudnya
ketika persoalan Ahok melewati jalur hukum tanpa adanya ruang dialog secara
kekeluargaan dengan tokoh lintas agama maka imbasnya nanti pada kasus perbedaan
pandangan beragama yang lain bisa terjadi potensi konflik yang semakin keras.
Misalkan saja seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa terjadi potensi
konflik berupa SARA. Hal ini berbeda ketika persoalan kasus perbedaan pandangan
beragama diselesaikan dengan cara dialog secara kekeluargaan maka potensi
konflik yang ditimbulkan sedikit karena ketika persoalan ini terdapat
intervensi dari tokoh lintas agama yang diharapkan bisa mengutarakan
pendapatnya dengan menggunakan kepala dingin, artinya menerapkan nilai-nilai
toleransi didalamnya demi menjaga perdamaian. Tokoh lintas agama bisa dikatakan
sebagai representasi umat-umat beragama di Indonesia. Ahok sendiri dalam kasus
penistaan agama yang dialaminya telah menyatakan sikap permohonan maaf kepada
umat Islam disela-sela setiap kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 yang
dilakukannya. Untuk meredam kasusnya, sebenarnya yang bisa dilakukan Ahok juga
adalah dengan mendatangi lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat Islam guna
membentuk ruang dialog secara kekeluargaan serta meminta maaf atas tindakan
yang dilakukannya. Dalam tulisan ini bukan berarti ingin mengarahkan masyarakat
untuk tidak percaya terhadap hukum di Indonesia tetapi ingin menyelaraskan
ruang publik antara jalur hukum dan ruang dialog secara kekeluargaan. Selama
ini juga hukum yang berjalan di Indonesia masih runcing kebawah dan tumpul ke
atas, masih banyak ditemui dalam pemberitaan di media masa mengenai kasus suap
jaksa dan hakim. Selain itu, seharusnya produk hukum seperti undang-undang dan
peraturan daerah harus dilihat terlebih dahulu konteks sosiologisnya ditujukan
untuk siapa, apa dan bagaimana sebelum menjawab perkara yang dikaji. Oleh
karena itu, ketika perkara yang menyangkut agama sangatlah sensitif ketika
diselesaikan di meja hijau jika tanpa adanya intervensi dari para tokoh lintas
agama. Jangan sampai di masyarakat terjadi wacana pembenaran, mengenai agama
siapa yang salah dan agama siapa yang benar. Untuk itu sebaiknya kembali lagi
pada pandangan hidup berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila sebagai pemersatu
seperti yang di contohkan Gus Dur semasa hidupnya.
Daftar
Pustaka
Dr, Alo Liliweri, M.S., 2002. Makna
Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Penerbit : Lkis Yogyakarta (https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=U-1ckHCx7nYC&oi=fnd&pg=PA1&dq=konflik+budaya&ots=K8K9GnlrFA&sig=6IeFAKeWPZhKFAmyn0vOEG-F2z8&redir_esc=y#v=onepage&q=konflik&f=false)
Hardiman, F. B, 2009, Demokrasi Deliberatif:
Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskurus Jurgen Habermas,
Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar