Seperti
yang sudah dijelaskan dalam mata kuliah sosiologi kritik dan postmodern, setelah
perang dunia II berakhir dan masuk pada era modernisasi dengan ditandai
perubahan kapitalisme private menuju korporasi dengan campur tangan negara
membuat dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tidak lagi diciptakan
untuk manusia secara umum tapi dibentuk untuk kebutuhan pemenuhan kepentingan,
kekuasaan dan kepuasan manusia. Tujuan dari era modern adalah membuat
masyarakat menjadi homogen, maksudnya terdapat suatu narasi besar yang dibuat
oleh suatu elit atau pihak yang mengiginkan masyarakat modern memiliki satu
tujuan yang sama (homogen) melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekuatan
perkembangan ekonomi dan politik menjadi 2 hal yang utama dalam masyarakat
modern guna mendapatkan kepentingan, kekuasaan dan kepuasan individu. Realitas
yang berjalan pada era modern telah di kaji oleh tokoh-tokoh sosiologi kritik
dan postmodern yang mengkritik mengenai cara bekerjanya modernitas yang telah memisahkan
antara subjek dan objek pada diri manusia. Masyarakat dituntut untuk memiliki
pemahaman berperilaku secara rasional sebagai subjek yang memiliki tujuan dalam
menjalani realitas yang ada di masyarakat dan memisahkan diri sebagai objek
dari seperti moralitas dalam beragama yang menurut era modern tidak rasional
(irasional).
Menurut
pandangan dari Habermas (dalam bukunya Hardiman), Sejauh itu pula ruang publik
politis hidup dan tumbuh dari hubungan-hubungan saling pengertian secara
intersubjektif di antara para warganegara yang berlangsung dalam bahasa
sehari-hari, yakni tindakan komunikatif. Ruang itu berakar di dalam Lebenswelt
(dunia-kehidupan) (Hardiman: 136: 2009)2. Konsep Lebenswelt dari
Habermas tersebut merupakan bagian dari pembahasannya mengenai tindakan
komunikatif yang ingin menjembatani antara dunia modern dengan Lebenswelt
melalui ruang publik. Jika mengacu pada pandangan dari Habermas menyebutnya
dengan Lebenswelt/ Lifeworld yaitu nilai-nilai pranata sosial yang telah
disepakati (konsensus) di masyarakat sehingga masyarakat dapat terikat dalam
bentuk solidaritas yang kuat. Di dunia modern, Lebenswelt berusaha disingkirkan
dengan logika instrumentalis yang dimiliki masyarakat modern yang mengarahkan
pada sebuah tujuan dan dengan logika kerja yang berjalan di pahami masyarakat
modern. Sejak zaman abad kegelapan dimana masyarakat di eropa pada saat itu
merasa tertekan dengan dogma agama dan perintah kerajaan menyebabkan munculnya
gejolak-gejolak yang ada di masyarakat dan ditandai dengan revolusi perancis
dan revolusi industri maka seakan-akan masyarakat eropa bebas dari dogma agama
yang mengikat sebelumnya. Kebebasan ini berupaya menjadikan ilmu pengetahuan
dan teknologi menjadi seperti dogma baru yang dibuat oleh individu dan harus
dipahami oleh masyarakat (Universal). Kebebasan ini juga membuat anomie
(masyarakat tidak beraturan) pada saat itu maka munculah tokoh-tokoh yang berusaha
bisa mengkaji dan mengatasi permasalahan sosial yang ada di realitas masyarakat
dengan solusi idealismenya (Ubermensch), tokoh-tokoh ini masuk pada era klasik
atau awal-awal setelah revolusi perancis dan revolusi industri. Solusi
idealismenya melalui sarana ilmu pengetahuan dan teknologi.
Marx
berpandangan (dalam bukunya yang lain Hardiman), Sintesis melalui kerja adalah
pengetahuan yang bertautan dengan praxis. Pengetahuan menghasilkan kerja
efektif untuk mengubah materi menjadi bentuk baru, dan kerja menghasilkan
pengetahuan baru (Hardiman: 133: 2004)3. Mengacu pada pandangan
pergulatan dialektika tentang ide dari filusuf Hegel, kant dan tokoh sosiologi
Karl Marx didapatkan tentang ide bahwa manusia berfikir secara berkembang,
maksudnya selalu terjadi adanya Thesa yaitu gagasan dari pemikiran manusia yang
kemudian terjadi negasi yaitu Antithesa dan ditengahi oleh Sintesa dan
memunculkan kembali Thesa kemudian Antithesa dan ditengahi oleh Sintesa, proses
ini selalu terjadi dalam perkembangan cara berfikir manusia. Dari apa yang
dimaksud dengan Hegel maka bisa dikatakan solusi idealisme yang diciptakan oleh
tokoh-tokoh era klasik dianggap sudah tidak relevan untuk mengatasi
permasalahan sosial yang ada di masyarakat maka muncul tokoh-tokoh baru yang
berusaha bisa menjawab semua permasalahan tersebut juga dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi, tokoh-tokoh ini menganggap berada pada era modern. Artinya
sampai pembahasan ini didapatkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada saat ini seakan menjadi syarat mutlak bagi masyarakat modern,
hal tersebut membuat ilmu pengetahuan tidak lagi diciptakan untuk manusia
secara umum tapi dibentuk untuk kebutuhan pemenuhan kepentingan, kekuasaan dan
kepuasan manusia yang bertujuan untuk menuntut masyarakat menjadi homogen
berupa narasi besar melalui tokoh-tokoh yang berusaha mengatasai permasalahan
yang ada di realitas masyarakat guna menciptakan idealismenya. Proses dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berorientasi pada
kepentingan, kekuasaan dan kepuasan individu. Di dalam kajian sosiologi,
tokoh-tokoh yang mempopulerkan modernism ini mendapatkan kritikan dari
tokoh-tokoh sosiologi kritik dan postmodern, tokoh-tokoh ini menganggap bahwa
masyarakat sudah berubah dari era modern ke postmodern. Dalam era modern masyarakat
semakin menjadi subjek yang rasional dengan menjalankan logika kerja dan
instrumentalis tetapi dalam kritikan kepada modernism ingin menyadarkan kepada
masyarakat bahwa masyarakat juga bagian dari objek seperti budaya dan
moralitas. Menurut pandangan dari penulis, dalam teori yang dimunculkan oleh
tokoh-tokoh sosiologi kritik dan postmodern berusaha ingin mengkaji realitas di
masyarakat dengan menyelaraskan agar masyarakat dapat menjadi bagian dari objek
dan subjek. Jika melihat dari pandangan Daniel Bell ketika perkuliahan
sosiologi kritik dan postmodern telah dijelaskan mengenai kematian ideologi
bahwa di masyarakat modern yang terdapat ideologi seperti kapitalis, sosialis
dan komunis sebenarnya sudah mati dan di postmodern digantikan oleh hasrat
manusia sebagai pemenuhan kebutuhan. Artinya ilmu pengetahuan dan tekonologi
masih berorientasi pada kepentingan, kekuasaan dan kepuasan individu.
Hal
ini dapat dicontohkan pada perkembangan pertanian di Indonesia, pada masa
klasik telah terjadi perubahan sistem yang subsisten menjadi kapitalis sejak
kedatangan bangsa penjajah dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimilikinya. Para penjajah menerapkan kebijakan politik untuk mendapatkan
keuntungan nilai ekonomi dari hasil pertanian Indonesia yang diperdagangkan di
eropa sehingga penjajahan tersebut memiliki kepentingan dan kekuasaan untuk
memajukan bangsa penjajah. Seperti dalam jurnal Pranadji dikatakan, kemajuan
suatu daerah sangat ditentukan oleh kebijakan politik perencanaan
pembangunannya. Sebagai gambaran, ketika pada awal abad 18 pemerintah kerajaan
belanda membuat kebijakan politik untuk "membangun ekonomi berbasis sumber
daya agraris" di pulau jawa (Geertz, 1989; Usman, 2009; Lubis, 2009), maka
hanya dalam beberapa dekade denyut kemajuan ekonomi agraris di pulau jawa
(sebagai bagian dari pemerintah kerajaan belanda) yang terarah dan sistematik,
dari daerah Pulau Jawa dapat dihasilkan produk agraris yang mendatangkan banyak
kemakmuran bagi Pemerintah Kerajaan Belanda (Usman, 2009). Diperoleh informasi
bahwa kota Amsterdam awalnya dibangun dari tanah dan "keringat orang
Indonesia (Jawa)". Bahkan hingga 1870 dari 70 persen APBN Kerajaan Belanda
diperoleh dari hasil perencanaan yang dimaksud (Lubis, 2009)4.
Perubahan
pertanian dari subsisten menjadi kapitalis telah menggeser nilai-nilai tradisi
budaya yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya kebudayaan Wiwitan dalam
skripsi Khoironi dikatakan, kebudayaan tradisional petani dalam masyarakat
Sendangrejo dapat dilihat dari apa yang dinamakan slametan. Slametan yang
dilaksanakan masyarakat berbeda-beda cara dan tujuannya. Di antara slametan
tersebut adalah slametan sebelum mulai tanam atau panen yang disebut upacara
wiwitan yang merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat
Sendangrejo yang masih tradisional. Pada perkembangannya, upacara wiwitan ini
lambat-laun memudar seiring modernisasi pertanian yang terus merambat
menggantikan pola pertanian sebelumnya. Memudarnya tradisi wiwitan merupakan fenomena
yang khas, unik atau dalam bahasa penulis memiliki nilai different, dimana hal
itu tidak terjadi pada slametan-slametan yang lain seperti slametan menurut
siklus hidup manusia, slametan memperingati hari-hari besar (Jawa dan Islam)
dan slametan besih desa atau sedekah bumi yang masih terus bertahan. Proses
memudarnya tradisi wiwitan dalam arus modernisasi pertanian yang berlangsung di
Desa Sendangrejo. Masih
dalam skripsi Khoironi dikatakan, memudarnya tradisi wiwitan dalam arus
modernisasi pertanian dimulai dengan perubahan dalam tradisi tersebut.
Perubahan ini penulis klasifikasikan dalam tiga fase; fase awal yang lebih
bersifat mitis, fase perubahan (mitis-religius) dan fase pemudaran. Pudarnya
tradisi wiwitan ini disebabkan oleh pergeseran sistem of belief atau pandangan
dunia (world view) masyarakat Sendangrejo akan harapan masa depan keselamatan
dan hasil panen yang baik yang semula selalu disandarkan pada kekuatan di luar
diri mereka atau terjadinya keteraturan alam numen dan numinous ke pola pertanian
modern yang lebih mendasarkan diri pada akal budi modern, birokrasi, teknologi
dan ilmu pengetahuan. Tradisi wiwitan vis a vis modernisasi pertanian akhirnya
mengalami demagifikasi, demitologi dan rasionalisasi yang kemudian memudar
karena merasuknya kesadaran modern, mode of production kapitalistik yang
menolak imperatif-imperatif tradisional dan pengaruh kuat media komunikasi
massa serta institusi-institusi pendidikan5.
Pada era modern yaitu
orde baru, di Indonesia ilmu pengetahuan dan tekonologi pertanian masih
berorientasi pada kepentingan dan kekuasaan. Seperti dalam jurnal Sadono
dikatakan, Pada era Orde Baru, pembangunan pertanian yang dikenal dengan
revolusi hijau telah dimanfaatkan oleh kepentingan pemerintah untuk tujuan
peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan khususnya padi untuk
memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat. Seiring dengan itu,
penyuluhan pertanian juga ikut berubah. Jika semula penyuluhan ditekankan pada
bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang lebih baik, berubah menjadi
tekanan pada alih teknologi yakni mengusahakan agar petani mampu meningkatkan
produktivitas dan produksinya terutama padi. Akibatnya petani menjadi
tergantung, tidak mandiri dan kelembagaan lokal banyak yang kurang berfungsi
atau bahkan hilang. Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma dari
paradigma lama yang lebih menekankan pada alih teknologi ke paradigma baru yang
mengutamakan pada sumberdaya manusianya, yang dikenal dengan pendekatan farmer
first, atau “mengubah petani” dan bukan “mengubah cara bertani”, yang
memungkinkan terjadi pemberdayaan pada diri petani6.
Daftar Pustaka :
2. Hardiman, F. B, 2009, Demokrasi Deliberatif:
Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskurus
Jurgen Habermas.
3.
Hardiman, F. B, 2004, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan
kepentingan Bersama Jurgen Habermas,
4.
Tri Pranadji, 2010. Sejarah PolitikDan Dinamika Agraris Kawasan Timur
Indonesia, Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No. 2
5.
AHMAD KHOIRONI, 2008. TRADISI WIWITAN DALAM ARUS MODERNISASI PERTANIAN
6.
Dwi Sadono, 2008. PEMBERDAYAAN PETANI:PARADIGMA BARU PENYULUHAN PERTANIAN DI
INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar