Maraknya
pemberitaan di media mengenai kasus TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dianiaya atau
menganiaya majikannya sering mewarnai negeri ini, ini tidak lepas karena
sebagian besar TKI bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Pendidikan para
TKI kebanyakan paling maksimal hanya lulusan SMP atau SMA, pengetahuan dan
kemampuan yang mereka miliki tidak seimbang jika bekerja di luar negeri.
Kesiapan mereka hanya pas-pasan yang biasanya mereka dapatkan dari pelatihan
saat berada di biro Penyalur Jasa TKI. Tidak jarang dapat ditemui para Penyalur
Jasa TKI ini melakukan tindakan penyuapan untuk memperlancar proses pemberangkatan
para calon TKI yang kadang sampai melebihi kuota yang diberikan. Kong-kalikong
atau kolusi antara birokrasi dan perusahaan penyalur menjadi kunci rantai
kebijakan PRT Migran. Tetapi hal yang paling koruftif adalah penempatan
pejabat-pejabat tinggi yang semata-mata didasarkan pada kepentingan politik,
dan bukan pada kapabilitas dan keahlian.
Dengan
banyaknya buruh migran di Luar negeri sudah seperti menjadi masalah yang hingga
kini tak nampak ujungnya, ditambah dengan kinerja badan pemerintahan yang
menangani masalah migran dalam melaksanakan tugasnya masih perlu dipertanyakan.
Contoh kasus permasalahan TKI adalah berawal dari kasus ruyati seorang TKI dari
Indonesia yang dikenai hukuman pancung di luar negeri. Dari pihak pemerintah Indonesia
sendiri hanya bisa mengusahakan agar hukuman pancung itu tidak dilaksanakan,
dengan cara advokasi namun untuk penebusan biaya yang konon katanya sampai
trilyunan tidak dapat terpenuhi dan alhasil ruyati harus dihukum pancung. Pada
saat pemerintahan presiden SBY dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa TKI
kini telah dihormati dan dilindungi hak-haknya. Hal itu ia sampaikan ketika
sidang ILO (International Labour Conference) yang ke 100 yang diselenggarakan
tanggal 3-8 juni 2011 di Geneva. Ada 2 hasil dalam konvensi tersebut, pertama
memberikan pengakuan secara hukum bahwa PRT hak-haknya harus dijamin secara hukum.
Kedua memberikan jawaban PRT yang senantiasa mengalami diskriminasi dan
pelanggaran HAM secara sistematis selama bekerja. Sebetulnya yang menjadi
masalah kenapa TKI yang bekerja di luar negeri kebanyakan mendapat masalah
karena menurut BPK proses rekrutmen TKI belum didukung dengan proses yang baik
dan transparan sehingga tidak ada jaminan kepastian, keadilan, dan perlindungan
TKI.
Korupsi
kekuasaan jika dikaitkan dengan kasus ruyati adalah praktek korupsi yang
berbasis pada kebijakan yang menghabiskan anggaran tetapi hasilnya untuk
perlindungan buruh migran tidak signifikan. Menurut hasil investigasi migran
care, ruyati dikenai hukuman pancung namun penanganan dari pemerintah Indonesia
terkesan lambat termasuk didalamnya pemerintah dalam membela ruyati. Selain itu
juga migran care juga mempertanyakan efektivitas satgas (satuan tugas) untuk
menangani kasus WNI/TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati disana.
Satgas juga memiliki beberapa tugas pokok terhadap TKI di luar negeri. Namun, kewenangan pokok yang diberikan kepada satgas
sebenarnya mengundang pertanyaan tentang anggaran yang dialokasikan untuk
operasional Satgas. Negara telah menghabisakan banyak anggaran untuk perjalanan
dan biaya tinggal diluar negeri yang dilakukan Satgas. Dan yang terjadi adalah pemborosan anggaran
negara dengan hasil yang minim, bahkan kasus dan masalah TKI tidak berkurang. Presiden,
dengan kekuasaannya mestinya dapat memilih orang yang layak untuk memimpin dan
memiliki tanggung jawab namun otoritas ini tidak digunakan dengan baik,
sehingga menunjuk orang yang tidak memiliki kapabilitas di bidangnya.
Kesimpulan
yang dapat disampaikan adalah korupsi dalam wajah penempatan dan perlindungan
TKI sudah bertahun-tahun terjadi dan cendrung dibiarkan. Tidak hanya itu ada
persengkongkolan antara pemerintah dan PJ TKI berlangsung. Dan dua-duanya
disini mendapatkan keuntungan finansial, namun tidak diimbangi dengan regulasi
yang protektif. Dari hal inilah maka sering terjadi pelanggaran hak-hak dasar
buruh TKI secara massif. KPK disini seharusnya juga harus lebih progresif
membrantas praktek korupsi tidak hanya dalam lingkungan politisi tetapi juga
dalam penempataan dan perlindungan TKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar