Histori
awal pembentukan KPK dimulai dari masa setelah reformasi terjadi. Adanya
ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap semua institusi berbau pada
masa orba. Rezim kekuasaan presiden Soeharto membuat muak semua lapisan
masyarakat karena saat itu ketimpangan sosial terjadi dimana-mana termasuk
korupsi tetapi selama 30 tahunan kekuasaan berlangsung seolah-olah tidak
terjadi apa-apa namun realitanya sebaliknya. Setelah pergerakan mahasiswa 98
berhasil membuka kunci demokrasi, lembaga institusi yang sebelumnya biasa
menangani kasus-kasus korupsi yaitu lembaga kepolisian seolah-olah tidak
dipercaya lagi. Pengaruh terbentuknya KPK juga dikarenakan banyaknya laporan
masyarakat sering tidak dilanjuti, yang kedua penanganan berlarut-larut dan
ketiga penanganan justru untuk melindungi hak yang lebih diuntungkan (penguasa).
Korupsi
pada masa orde baru sudah seperti budaya dimana faktor internal seperti
keegoisan dan keserakahan dari penguasa terasa oleh rakyat. Berkaca pada
sejarah, aliran Culturalis menyatakan bahwa akar permasalahan dari korupsi di
Indonesia sudah ada sejak feodalisme. Contohnya yaitu ketika bangsa kita dahulu
sebagian besar masih menganut sistem kerjaaan hindu/ budha, tanah seolah-olah
menjadi sistem kasta. Penguasaan tanah oleh pihak kerajaan kepada rakyat biasa
sudah memperlihatkan adanya korupsi pada zaman itu. Aliran Culturalis kedua
menyatakan korupsi sudah seperti tindakan Komunalisme adalah tindakan
setiakawan atau praktek yang dianggap sebagai bentuk perwujudan dari
komunalisme (kebersamaan). Sebagai contoh di suatu lembaga organisasi melakukan
open recriuitmen panitia perlombaan, karena dari salah satu peserta mengenal
yang mengadakan open recruitment maka si peserta diperlancar agar diterima
menjadi panitia lomba, begitu juga mempengaruhi yang lainnya. Tidak jarang
hal-hal seperti itu sudah menjadi membudaya di masyarakat kita. Ketiga, aliran
Culturalis mengenai sistem patron klien yaitu baik pihak yang diatas dan yang
dibawah patron menjadi penentu klien yang mengikuti dan meniru. Sebagai contoh,
karena suatu bos di perusahaan melakukan korupsi waktu dan tidak mendapatkan
sanksi apa-apa maka bawahannya melakukannya hal yang sama juga. Jika merujuk
catatan perkuliahan beberapa waktu yang lalu dikatakan bahwa aliran parsonian
(fungsionalisme/ sistem sosial menjadi berjalan), dengan adanya korupsi menjadi
keseimbangan sosial jika tidak ada gerakan sosial anti korupsi yang semestinya
dilakukan melalui pendidikan tetapi hal
ini memerlukan waktu yang lama.
Di
era modern ini, korupsi tidak lagi dilakukan dengan cara fisik tetapi memakai
akal sehat. Ciri-ciri korupsi pada saat ini kebanyakan dilakukan lebih dari 1
orang guna memperlancar. Kedua bersifat rahasia artinya keterbukaan menjadi hal
sensitif. Ketiga melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik yaitu tidak
selalu berbentuk uang, bisa bentuk yang dijanjikan seperti kekuasaan. Keempat
memiliki kemampuan yang tegas dan dapat mempengaruhi keputusan tersebut (Syed
Husein Al Attas : 1981). Sehinga dari ciri-ciri korupsi yang sudah dijelaskan
menimbulkan jenis-jenis tipologi korupsi yaitu :
1.
Korupsi Transaktif
2.
Pemerasan
3.
Defensif/ mempertahankan diri
4.
Invensif, tanpa ada keuntungan langsung tapi keuntungan yang diharapkan
dikemudian hari (gratifikasi).
5.
Nepotisme
6.
Otogenik/ Dilakukan sendiri
7.
Korupsi dukungan, mendukung/ membela pihak lain untuk melakukan korupsi
Dari
beberapa masalah yang terjadi maka masyarakat ingin adanya sebuah lembaga/
institusi baru yang bisa dipercaya dalam melakukan tindak pidana korupsi. Lalu
munculah lembaga Ad hoc (yang kemudian menjadi KPK) untuk mengembalikan
kepercayaan (Trust) kepada masyarakat. Baik trust terhadap abstract system
maupun trust terhadap personal. Sebenarnya untuk saat ini jika KPK dikatakan
menjadi lembaga yang dibentuk untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi
dari lembaga sebelumnya tidak juga dibenarkan. Peran KPK lebih sebagai upaya
efektif dan efisien untuk membantu pemberantasan korupsi oleh lembaga yang ada
sebelumnya.
KPK
sebagai lembaga yang independen juga mempunyai tugas dan wewenang seperti
berkoordinasi dengan institusi-institusi publik. Kedua melakukan supervisi/
mengevaluasi. Ketiga melakukan penyidikan dan penuntutan. Keempat melakukan
tindakan pencegahan korupsi dan yang terakhir melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara. Di dalam website KPK dijelaskan pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat untuk melakukan
pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
(lihat di http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk). Dengan begitu
diharapkan adanya lembaga KPK dapat melaksanakan dengan independen, artinya
dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya KPK tidak dipengaruhi dari pihak
manapun. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu:
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. Yang
menjadi dari sasaran KPK adalah melibatkan aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara. Kedua mendapat perhatian masyarakat.
Perkembangan
KPK semakin ke sini semakin parah. Diwalai dengan KPK jilid 1 dan 2. Pada KPK
jilid 2 yang saat itu masih diketuai oleh Antashari Azhar, kasus korupsi yang
hangat ditangai kala itu melibatkan Anggodho Wijoyo dan salah satu petinggi
POLRI. Namun yang saat itu heboh dalam media massa pemberitaan kasus pembunuhan
yang dilakukan oleh Anthasari Azhar dan kasus korupsi Anggodho Wijoyo seperti
lenyap hilang. Tetapi disebu-sebut bahwa kasus pembunuhan yang melibatkan
Anthasari Azhar bagian dari manipulasi kasus yang ada dikarenakan melibatkan
petinggi POLRI. Ini yang memunculkan analogi dimasyarakat mengenai Cicak VS
Buaya. Ketika KPK baru-baru ini melepas ketuanya yaitu Abraham Samad
dikarenakan isu yang ada KPK pada zaman Abraham menangani kasus pembrantasan
korupsi yang dilakukan oleh calon petinggi POLRI yang berberapa waktu lagi akan
dilantik oleh POLRI untuk menempati jabatan tertinggi di POLRI tetapi yang ada
malah KPK menyelidiki kasus tersebut dan dinyatakan bahwa calon petinggi POLRI
tersebut terlibat dalam kasus korupsi. Stigma Cicak VS Buaya terus berlanjut,
tidak mau kalah POLRI membuka kembali kasus-kasus yang sudah pernah dilakukan
oleh jajaran KPK untuk mematikan KPK (seperti kasus Bambang Wijayanto dan
Abraham Samad. Ancaman untuk KPK tersendiri dari masa ke masa pimpinan memiliki
ancaman tersendiri. Isu yang sedang hangat mengenai KPK saat ini adalah
mengenai revisi UU KPK dimana media massa menilai revisian tersebut untuk
memperlancar para eksekutif dan legislator negara untuk melakukan korupsi.
Sebagai masyarakat yang baik seharusnya kita menjadi kontrol lembaga-lembaga
dan institusi negara guna memperoleh keteraturan dalam masyarakat.
Daftar
Pustaka
http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk
(Syed
Husein Al Attas, Sosiologi Korupsi, LP3 ES, 1981)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar