Pada
masyarakat dahulu alkulturasi budaya antara Jawa dan Tionghoa seperti hal yang
biasa, perubahan terjadi ketika ada sekelompok membuat stigma yang berbeda
yaitu ketika Belanda masuk membuat perpecahan antara kaum Tionghoa, Arab dan
pribumi baik dari sisi budaya dan ekonomi yang mengharuskan dipisah. Pada
golongan Arab pernah terjadi perang Diponegoro yang menjadikan sentimen agama
bisa menjadi alat persatuan sehingga Belanda berpikir harus menggolongkan
rakyat jajahannya. Pada golongan Tionghoa diberi keleluasaan berekonomi oleh
Belanda dengan pajak yang tinggi sehingga hal ini yang membuat persepsi buruk
seperti jika kaum Tionghoa sukses berekonomi maka kaum pribumi harus iri. Kaum
Tionghoa yang tidak berekonomi mempunyai nasionalisme sendiri bahwa tanah yang
didudukinya adalah tanah mereka.
Pada masa pra kemerdekaan, tokoh
seperti HOS Cokroaminoto mencoba untuk mempersatukan kaum Tionghoa dan pribumi.
Di zaman rezim Soekarno kaum Tionghoa dan pribumi hampir tidak ada perbedaan
namun ketika TNI mulai mempunyai andil yang besar membuat hubungan Indonesia
dengan Rusia dan Republik Rakyat Cina berbahaya, munculah G30S PKI. Masuk orde
baru kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berpolitik dan adanya pembatasan budaya
Tionghoa tetapi mempunyai keleluasaan dalam bidang ekonomi. Pernah terjadi
naturalisasi kaum Tionghoa dengan cara mengganti nama keindonesiaan. Pada Orde
Baru kaum Tionghoa yang dulunya pada masa orde lama mengikuti partai komunis
terdapat pembatasan dalam hal sosial dan politik masa Orde Baru. Sampai sini
terlihat, cara yang dipakai orde baru hampir sama pada masa Belanda terhadap
kaum Tionghoa yaitu politik, ekonomi dan pemerintah memunculkan adanya
kecemburuan sosial antara kaum Tionghoa dan pribumi.
Di
Malaysia kasus kaum Tionghoa dan pribumi diselesaikan dengan cara asimilasi.
Saat ini kaum Tionghoa menganggap bahwa menikah dengan kaum pribumi sebagai
pertentangan maka untuk pluralitas masih rentan di Indonesia artinya masih
proses pengujian. Selain studi kasus mengenai kaum Tionghoa dan Pribumi, kasus
Sampit dan Madura merupakan lanjutan pluralitas yang masih rentan di Indonesia
adalah akibat program transmigrasi pada masa orde baru yang tidak melihat sisi
sosial dan politik sehingga memunculkan permasalahan sosial. Peran sosiologi
adalah melihat kerentanan dalam hal pluralitas sehingga dapat mempengaruhi
kebijakan dari pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar