Berlanjutnya
estafet pemerintahan di tangan presiden Jokowi, pada tahun 2015 kemarin rencana
pemerintah memberikan dana yang disalurkan ke Desa akan terealisasikan secara
bertahap atau yang dimaksud dengan Dana Desa. Presiden mengharapkan dana desa
dapat menjadi dana untuk roda perekonomian desa. Seperti yang dilansir dari
laman Kompas.com (beberapa bulan yang lalu), Untuk tahun 2015 dana desa yang
diberikan yaitu 600 hingga 800 juta setiap desa dan ditahun berikut-berikutnya
hingga trilyunan. Dengan demikian apa yang dilakukan pemerintah tidak main-main
dan jika kedepannya perekonomian desa berhasil berkembang pesat maka tidak
menutup kemungkinan dapat mengurangi lajur Urbanisasi.
Berbicara
mengenai Urbanisasi, beberapa waktu yang lalu penulis pernah berbincang-bincang
dengan salah satu penjual di warung makan daerah salah satu desa kab. Malang. Saat
itu penulis bertanya mengenai keuntungan yang bisa didapatkan dalam sehari. Ibu-ibu
penjual di warung makan tersebut seolah pesimis, beliau menjawab bahwa di desa
untuk cari uang sulit dengan berjualan tetapi kalo mencari sayur-mayur itu
mudah didapatkan. Pernyataan-pernyataan seperti itu dari masyarakat acap kali
kita dengar yang bisa menjadi salah satu motivasi/ mindset hijrahnya masyarakat
desa ke kota agar bisa mendapatkan uang yang banyak.
Jika
kita kembali pada masa lalu bahwa sebenarnya sekelompok orang melakukan cocok
tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Namun di Indonesia, masuknya
kolonialisme belanda yang dinaungi oleh kelompok dagang VOC membuat perkenomian
pertanian yang dahulunya Subsisten menjadi dengan cara ekonomi modern
kapitalis. Di dalam buku Involusi Pertanian milik Cliffort Gertz dijelaskan
bahwa system tanam paksa menjadi siasat fiskal yang dimulai dilakukan oleh
seorang bernama Van Den Bosch pada tahun 1700an. Sistem tanam paksa yang
sesungguhnya harus dijalankan adalah petani dibebaskan dari pajak tanah dan
sebagai gantinya harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah pada seperlima
luas tanahnya atau sebagai alternatif lain dengan bekerja selama 66 hari setiap
tahun di perkebunan-perkebunan milik pemerintah atau dalam proyek lain….. (Geertz:
1976: 57). Cara lainnnya yang dilakukan oleh belanda untuk memperlancar
usahanya, dengan membuat perkantoran administratif, transportasi, akses jalan,
gereja, pelayanan jasa (dokter, rumah sakit, tentara), dll hingga akhirnya
membentuk pusat pemerintahan demi keberlangsungan kolonialisme. Bentuk
cara-cara usaha yang dilakukan belanda bisa menjadi cikal-bakal perkotaan. Di
dalam pabrik-pabrik industri gula, rokok, dll yang menjadi buruh adalah rakyat
pribumi dan disektor pelayanan jasa rendahan juga menggunakan tenaga dari rakyat
pribumi. Artinya disini mulai ada peralihan sektor pekerjaan dari agraris ke
bidang jasa. Hal ini seperti apa yang terjadi di perkotaan dengan banyak
pekerjaan yang mendominasi sektor jasa.
Pada masa
pemerintahan Soeharto di era orde baru sangat digencarkan pembangunan nasional,
salah satunya yaitu pembangunan ekonomi yang dinilai pada saat itu merugikan
sektor ekonomi rakyat karena dianggap menghamba besar pada pembisnis besar.
Penerapan sentralisasi juga membuat kesenjangan antara desa dan kota. Banyak
sektor UKM dan koperasi tidak berjalan sesuai dan tidak berkembang. Dengan
demikian ekonomi desa menjadi melemah walaupun negara ini pernah swasembada
beras ke luar negeri. Dari sini lajur urbanisasi dimulai, bagaimana masyarakat
desa merasa tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi maka mereka melihat masyarakat
desa yang lain yang sudah sukses di kota sehingga dampaknya banyaknya arus
urbanisasi. Disamping itu faktor kedua dari urbanisasi adalah peran tengkulak
dalam ekonomi pertanian yang merugikan para petani. Disini pemerintah juga
berkewajiban untuk memberikan ruang kepada para petani untuk memasarkan hasil
produksi panennya dan dapat memutus rantai tengkulak serta dapat mengontrol
jalannya Dana Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar