Minggu, 15 Januari 2017

OPINI : Menelaah Kasus Ahok Dengan Sudut Pandang Konflik



Pernah mendengar istilah Demokrasi adalah Democrazy. Hal ini dikarenakan salah satu keuntungan dari Demokrasi adalah kebebasan berpendapat tetapi kebebasan ini menimbulkan potensi konflik dimana-mana. Seringkali kebebasan berpendapat banyak dijumpai pada media sosial. Kekuatan media sosial membuktikan bahwa opini dapat menggiring publik untuk melakukan aksi. Contoh kasus yang dapat diangkat pada tulisan ini adalah kasus dari Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan Ahok yang dinilai umat Islam telah menistakan agama. Awalnya pemberitaan kasus Ahok tidak menjadi perbincangan yang besar di masyarakat. Tetapi banyak kalangan para tokoh pemuka agama Islam menilai pemerintah lamban dalam menangani kasus Ahok sehingga banyak muncul opini di media sosial untuk melakukan aksi damai guna menyatukan umat Islam agar peduli terhadap kasus tersebut. Disamping ada pendapat masyarakat bahwa kasus Ahok berhubungan dengan politik yang sedang terjadi dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI Jakarta 2017, tetapi dapat ditekankan bahwa kebebasan berpendapat yang ingin menyatukan ideologi melalui penggiringan opini demi kepentingan golongan tertentu dengan tidak mempedulikan nilai-nilai budaya lain dalam masyarakat yang bernegara berdasarkan pancasila sebagai pandangan hidup yang menyatukan bangsa Indonesia maka potensi konflik akan terjadi. Dan juga dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari siapa yang benar dan salah. Seperti yang dijelaskan dalam bukunya Liliweri dikatakan, Pelbagai pengalaman di dunia juga menunjukkan bahwa telah terjadi dialektika antara budaya individu dengan sosial-budaya, interaksi antarpribadi adalah lebih penting, tetapi ternyata individu juga dilahirkan dalam sebuah dunia sosial yang luas yang acapkali telah terlibat dalam konflik dan perseteruan antarbudaya. Kadang-kadang individu tidak mengetahui asal mula konflik antaretnik, namun ikut terlibat di dalamnya (Liliweri: 38: 2002).

Kebebasan berpendapat telah terjadi perubahan, dimana pada masa orde baru semua bentuk media televisi, radio atau koran mendapatkan pengawasan yang ketat dari Departemen Penerangan sehingga meminimalisir adanya perang wacana atau perbedaan pandangan demi menjaga stabilitas negara. Tetapi kebijakan ini memiliki kelemahan yaitu membuat masyarakat menjadi kurang kritis karena keterbukaan informasi sangat dibatasi. Berbeda pada masa sekarang yang menjadikan kebebasan berbendapat diartikan oleh masyarakat menjadi bebas sebebasnya, sehingga dengan mudah masyarakat beropini seenaknya saja di media sosial yang berakibat menimbulkan potensi konflik. Untuk itu pemerintah sudah menetapkan UU ITE guna melakukan pengawasan kepada pengguna media sosial. Pada kasus Ahok terdapat banyak pengguna media sosial yang tersulut atas opini-opini yang sudah ada dan mereka banyak yang hingga sekarang memposting dengan menghujat menjelekkan Ahok atas penistaan agama yang dilakukannya. Sebenarnya dengan adanya UU ITE, pengguna media sosial tersebut dapat terjerat hukum kasus pidana. UU ITE bisa menjadi harapan dari pemerintah agar masyarakat yang ingin mempersoalkan perkara masalah dapat melewati jalur hukum karena negara ini adalah negara hukum dan pemerintah sendiri berharap penegak hukum bisa adil dan transparan dalam memproses hukum. Seperti pada kasus Ahok, seharusnya masyarakat mempercayai pemerintah dalam memproses kasus tersebut dan tidak ada lagi opini-opini yang menghujat menjelekkan Ahok yang bisa menyulutkan potensi konflik. Disisi lain dengan adanya UU ITE bukan berarti mengurangi kritis masyarakat terhadap realita sosial yang ada.
Kasus Ahok telah membuktikan ketika pemerintah lamban dalam memproses kasus tersebut maka umat Islam dapat bersatu untuk menyuarakan agar kasus Ahok segera diproses dengan cara aksi damai. Potensi konflik yang bisa terjadi adalah dampak dari aksi damai tersebut seperti terjadi kasus SARA (Suku, Ras dan Agama), misal ketakutan untuk hidup berdampingan yang nantinya dirasakan etnis tionghoa (seperti yang diketahui Ahok memiliki keturunan Chinese) dan umat agama lain serta timbulnya banyak wacana pembenaran tentang agama akan memperkeruh potensi konflik. Setelah aksi damai yang pertama dilakukan, muncul wacana untuk memenjarakan Ahok. Padahal setelah aksi damai yang pertama, pemerintah sedang memproses kasus tersebut. Wacana untuk memenjarakan Ahok gencar dilakukan di media sosial sehingga terdapat ajakan untuk melakukan aksi damai yang kedua dan hal itu terjadi. Cara ini layaknya seperti aksi damai yang pertama. Sejatinya demokrasi dengan bebas berpendapat yang dilakukan umat Islam pada kasus Ahok bertujuan untuk menyuarakan keadilan. Tindakan umat Islam ini menandakan adanya ketidakpercayaan terhadap Pemerintah dikarenakan takutnya nanti hukum yang berjalan tidak bisa adil. Hal ini berbahaya untuk stabilitas negara, ketika suatu massa yang banyak tidak percaya lagi dengan pemerintah maka potensi konflik yang nyata akan terjadi. Untuk itu pemerintah sebagai bagian yang menjadi penegak hukum di masyarakat harus adil dan transparan dalam memproses kasus Ahok dan umat Islam harus percaya terhadap penegak keadilan di negeri ini sehingga kasus Ahok dapat terselesaikan.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai potensi konflik, baik itu konflik antar individu atau dengan kelompok. Hak manusia untuk berpendapat didasarkan pada identitas budaya yang dimilikinya. Artinya potensi konflik didapatkan karena adanya persinggungan perbedaan pandangan atas identitas budaya yang dimiliki. Identitas budaya yang dimaksud berkaitan dengan kebiasaan, perilaku, nilai-nilai, struktur, pengetahuan dan norma yang dipahami secara bersama. Contoh dari identitas budaya seperti agama, organisasi sosial, suku dan ras. Potensi konflik menimbulkan adanya pihak yang menguasai dan dikuasai. Dalam menangani konflik dibutuhkan perantara guna menengahi pihak yang berkonflik. Perantara tersebut bisa melalui ruang publik seperti jalur hukum atau dialog pertemuan secara kekeluargaan. Sedikit berbeda ketika mengacu pada pandangan dari Habermas (dalam bukunya Hardiman) dikatakan, Ruang publik itu memungkinkan para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi – bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali ciri informal dan inklusifnya, karena istilah “ruang publik” atau – dalam bahasa jerman – Offentlichkeit berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” (allgemeine Zuganglichkeit) dan mengacu pada ciri terbuka dan inklusif ruang ini. Karakteristik ruang publik politis ini dapat dihubungkan dengan ciri-ciri diskursus praktis yang telah dibahas di atas (Hardiman: 135: 2009).
Dalam menangani konflik, semua pihak perlu memahami perbedaan identitas budaya dari pihak-pihak yang terlibat. Pada kasus penistaan agama yang dialami Ahok, berawal dari keresahan Ahok saat menyampaikan pembicaraannya mengenai banyak tokoh agama Islam selama ini menyudutkan beliau ketika berpolitik yang melarang umat Islam memilih pemimpin selain beragama Islam sesuai kitab suci Al-Qur’an sedangkan umat Islam membenarkan jika memilih pemimpin diharuskan beragama Islam. Dalam kasus ini terdapat perbedaan pandangan dari identitas budaya yang dimiliki Ahok dengan umat Islam. Seperti yang diketahui bahwa Ahok sendiri beragama Nonis (Non Islam) sehingga memiliki budaya pemahaman pengetahuan beragama yang berbeda dengan agama Islam. Maka penting peranan negara yang tegas untuk hadir memperantarai kasus tersebut.
Terkait dengan isu-isu perbedaan pandangan dalam beragama, di Indonesia tidak akan lepas dari sosok Alm. Dr. K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Beliau menjadi tokoh yang plural dengan nilai-nilai toleransi yang sangat kuat. Semasa hidupnya Gus Dur sering menghadiri perayaan suci agama selain Islam sebagai rasa hormat umat antar beragama yang hidup berdampingan, begitu sebaliknya ketika ada perayaan hari besar Islam Gus Dur mengundang tokoh lintas agama untuk turut hadir. Sosok Gus Dur begitu sadar betul bahwa negeri ini terdapat banyak suku, agama, etnis dan ras sehingga penting untuk menjaga persatuan dan perdamaian. Figur Gus Dur relevansinya ketika disandingkan dengan kasus Ahok menjadi penting adalah untuk mengemban nilai-nilai toleransi dari Gus Dur, maksudnya ketika persoalan Ahok melewati jalur hukum tanpa adanya ruang dialog secara kekeluargaan dengan tokoh lintas agama maka imbasnya nanti pada kasus perbedaan pandangan beragama yang lain bisa terjadi potensi konflik yang semakin keras. Misalkan saja seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bisa terjadi potensi konflik berupa SARA. Hal ini berbeda ketika persoalan kasus perbedaan pandangan beragama diselesaikan dengan cara dialog secara kekeluargaan maka potensi konflik yang ditimbulkan sedikit karena ketika persoalan ini terdapat intervensi dari tokoh lintas agama yang diharapkan bisa mengutarakan pendapatnya dengan menggunakan kepala dingin, artinya menerapkan nilai-nilai toleransi didalamnya demi menjaga perdamaian. Tokoh lintas agama bisa dikatakan sebagai representasi umat-umat beragama di Indonesia. Ahok sendiri dalam kasus penistaan agama yang dialaminya telah menyatakan sikap permohonan maaf kepada umat Islam disela-sela setiap kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 yang dilakukannya. Untuk meredam kasusnya, sebenarnya yang bisa dilakukan Ahok juga adalah dengan mendatangi lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat Islam guna membentuk ruang dialog secara kekeluargaan serta meminta maaf atas tindakan yang dilakukannya. Dalam tulisan ini bukan berarti ingin mengarahkan masyarakat untuk tidak percaya terhadap hukum di Indonesia tetapi ingin menyelaraskan ruang publik antara jalur hukum dan ruang dialog secara kekeluargaan. Selama ini juga hukum yang berjalan di Indonesia masih runcing kebawah dan tumpul ke atas, masih banyak ditemui dalam pemberitaan di media masa mengenai kasus suap jaksa dan hakim. Selain itu, seharusnya produk hukum seperti undang-undang dan peraturan daerah harus dilihat terlebih dahulu konteks sosiologisnya ditujukan untuk siapa, apa dan bagaimana sebelum menjawab perkara yang dikaji. Oleh karena itu, ketika perkara yang menyangkut agama sangatlah sensitif ketika diselesaikan di meja hijau jika tanpa adanya intervensi dari para tokoh lintas agama. Jangan sampai di masyarakat terjadi wacana pembenaran, mengenai agama siapa yang salah dan agama siapa yang benar. Untuk itu sebaiknya kembali lagi pada pandangan hidup berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila sebagai pemersatu seperti yang di contohkan Gus Dur semasa hidupnya.


Daftar Pustaka
Hardiman, F. B, 2009, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskurus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar