Minggu, 15 Januari 2017

Kritik Modernisme Pada Proses dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berorientasi Pada Kepentingan & Kekuasaan (Studi Kasus : Perkembangan Pertanian Indonesia)



     Seperti yang sudah dijelaskan dalam mata kuliah sosiologi kritik dan postmodern, setelah perang dunia II berakhir dan masuk pada era modernisasi dengan ditandai perubahan kapitalisme private menuju korporasi dengan campur tangan negara membuat dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tidak lagi diciptakan untuk manusia secara umum tapi dibentuk untuk kebutuhan pemenuhan kepentingan, kekuasaan dan kepuasan manusia. Tujuan dari era modern adalah membuat masyarakat menjadi homogen, maksudnya terdapat suatu narasi besar yang dibuat oleh suatu elit atau pihak yang mengiginkan masyarakat modern memiliki satu tujuan yang sama (homogen) melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekuatan perkembangan ekonomi dan politik menjadi 2 hal yang utama dalam masyarakat modern guna mendapatkan kepentingan, kekuasaan dan kepuasan individu. Realitas yang berjalan pada era modern telah di kaji oleh tokoh-tokoh sosiologi kritik dan postmodern yang mengkritik mengenai cara bekerjanya modernitas yang telah memisahkan antara subjek dan objek pada diri manusia. Masyarakat dituntut untuk memiliki pemahaman berperilaku secara rasional sebagai subjek yang memiliki tujuan dalam menjalani realitas yang ada di masyarakat dan memisahkan diri sebagai objek dari seperti moralitas dalam beragama yang menurut era modern tidak rasional (irasional). 

Menurut pandangan dari Habermas (dalam bukunya Hardiman), Sejauh itu pula ruang publik politis hidup dan tumbuh dari hubungan-hubungan saling pengertian secara intersubjektif di antara para warganegara yang berlangsung dalam bahasa sehari-hari, yakni tindakan komunikatif. Ruang itu berakar di dalam Lebenswelt (dunia-kehidupan) (Hardiman: 136: 2009)2. Konsep Lebenswelt dari Habermas tersebut merupakan bagian dari pembahasannya mengenai tindakan komunikatif yang ingin menjembatani antara dunia modern dengan Lebenswelt melalui ruang publik. Jika mengacu pada pandangan dari Habermas menyebutnya dengan Lebenswelt/ Lifeworld yaitu nilai-nilai pranata sosial yang telah disepakati (konsensus) di masyarakat sehingga masyarakat dapat terikat dalam bentuk solidaritas yang kuat. Di dunia modern, Lebenswelt berusaha disingkirkan dengan logika instrumentalis yang dimiliki masyarakat modern yang mengarahkan pada sebuah tujuan dan dengan logika kerja yang berjalan di pahami masyarakat modern. Sejak zaman abad kegelapan dimana masyarakat di eropa pada saat itu merasa tertekan dengan dogma agama dan perintah kerajaan menyebabkan munculnya gejolak-gejolak yang ada di masyarakat dan ditandai dengan revolusi perancis dan revolusi industri maka seakan-akan masyarakat eropa bebas dari dogma agama yang mengikat sebelumnya. Kebebasan ini berupaya menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi seperti dogma baru yang dibuat oleh individu dan harus dipahami oleh masyarakat (Universal). Kebebasan ini juga membuat anomie (masyarakat tidak beraturan) pada saat itu maka munculah tokoh-tokoh yang berusaha bisa mengkaji dan mengatasi permasalahan sosial yang ada di realitas masyarakat dengan solusi idealismenya (Ubermensch), tokoh-tokoh ini masuk pada era klasik atau awal-awal setelah revolusi perancis dan revolusi industri. Solusi idealismenya melalui sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Marx berpandangan (dalam bukunya yang lain Hardiman), Sintesis melalui kerja adalah pengetahuan yang bertautan dengan praxis. Pengetahuan menghasilkan kerja efektif untuk mengubah materi menjadi bentuk baru, dan kerja menghasilkan pengetahuan baru (Hardiman: 133: 2004)3. Mengacu pada pandangan pergulatan dialektika tentang ide dari filusuf Hegel, kant dan tokoh sosiologi Karl Marx didapatkan tentang ide bahwa manusia berfikir secara berkembang, maksudnya selalu terjadi adanya Thesa yaitu gagasan dari pemikiran manusia yang kemudian terjadi negasi yaitu Antithesa dan ditengahi oleh Sintesa dan memunculkan kembali Thesa kemudian Antithesa dan ditengahi oleh Sintesa, proses ini selalu terjadi dalam perkembangan cara berfikir manusia. Dari apa yang dimaksud dengan Hegel maka bisa dikatakan solusi idealisme yang diciptakan oleh tokoh-tokoh era klasik dianggap sudah tidak relevan untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat maka muncul tokoh-tokoh baru yang berusaha bisa menjawab semua permasalahan tersebut juga dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tokoh-tokoh ini menganggap berada pada era modern. Artinya sampai pembahasan ini didapatkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini seakan menjadi syarat mutlak bagi masyarakat modern, hal tersebut membuat ilmu pengetahuan tidak lagi diciptakan untuk manusia secara umum tapi dibentuk untuk kebutuhan pemenuhan kepentingan, kekuasaan dan kepuasan manusia yang bertujuan untuk menuntut masyarakat menjadi homogen berupa narasi besar melalui tokoh-tokoh yang berusaha mengatasai permasalahan yang ada di realitas masyarakat guna menciptakan idealismenya. Proses dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berorientasi pada kepentingan, kekuasaan dan kepuasan individu. Di dalam kajian sosiologi, tokoh-tokoh yang mempopulerkan modernism ini mendapatkan kritikan dari tokoh-tokoh sosiologi kritik dan postmodern, tokoh-tokoh ini menganggap bahwa masyarakat sudah berubah dari era modern ke postmodern. Dalam era modern masyarakat semakin menjadi subjek yang rasional dengan menjalankan logika kerja dan instrumentalis tetapi dalam kritikan kepada modernism ingin menyadarkan kepada masyarakat bahwa masyarakat juga bagian dari objek seperti budaya dan moralitas. Menurut pandangan dari penulis, dalam teori yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh sosiologi kritik dan postmodern berusaha ingin mengkaji realitas di masyarakat dengan menyelaraskan agar masyarakat dapat menjadi bagian dari objek dan subjek. Jika melihat dari pandangan Daniel Bell ketika perkuliahan sosiologi kritik dan postmodern telah dijelaskan mengenai kematian ideologi bahwa di masyarakat modern yang terdapat ideologi seperti kapitalis, sosialis dan komunis sebenarnya sudah mati dan di postmodern digantikan oleh hasrat manusia sebagai pemenuhan kebutuhan. Artinya ilmu pengetahuan dan tekonologi masih berorientasi pada kepentingan, kekuasaan dan kepuasan individu. 

Hal ini dapat dicontohkan pada perkembangan pertanian di Indonesia, pada masa klasik telah terjadi perubahan sistem yang subsisten menjadi kapitalis sejak kedatangan bangsa penjajah dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Para penjajah menerapkan kebijakan politik untuk mendapatkan keuntungan nilai ekonomi dari hasil pertanian Indonesia yang diperdagangkan di eropa sehingga penjajahan tersebut memiliki kepentingan dan kekuasaan untuk memajukan bangsa penjajah. Seperti dalam jurnal Pranadji dikatakan, kemajuan suatu daerah sangat ditentukan oleh kebijakan politik perencanaan pembangunannya. Sebagai gambaran, ketika pada awal abad 18 pemerintah kerajaan belanda membuat kebijakan politik untuk "membangun ekonomi berbasis sumber daya agraris" di pulau jawa (Geertz, 1989; Usman, 2009; Lubis, 2009), maka hanya dalam beberapa dekade denyut kemajuan ekonomi agraris di pulau jawa (sebagai bagian dari pemerintah kerajaan belanda) yang terarah dan sistematik, dari daerah Pulau Jawa dapat dihasilkan produk agraris yang mendatangkan banyak kemakmuran bagi Pemerintah Kerajaan Belanda (Usman, 2009). Diperoleh informasi bahwa kota Amsterdam awalnya dibangun dari tanah dan "keringat orang Indonesia (Jawa)". Bahkan hingga 1870 dari 70 persen APBN Kerajaan Belanda diperoleh dari hasil perencanaan yang dimaksud (Lubis, 2009)4.

Perubahan pertanian dari subsisten menjadi kapitalis telah menggeser nilai-nilai tradisi budaya yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya kebudayaan Wiwitan dalam skripsi Khoironi dikatakan, kebudayaan tradisional petani dalam masyarakat Sendangrejo dapat dilihat dari apa yang dinamakan slametan. Slametan yang dilaksanakan masyarakat berbeda-beda cara dan tujuannya. Di antara slametan tersebut adalah slametan sebelum mulai tanam atau panen yang disebut upacara wiwitan yang merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat Sendangrejo yang masih tradisional. Pada perkembangannya, upacara wiwitan ini lambat-laun memudar seiring modernisasi pertanian yang terus merambat menggantikan pola pertanian sebelumnya. Memudarnya tradisi wiwitan merupakan fenomena yang khas, unik atau dalam bahasa penulis memiliki nilai different, dimana hal itu tidak terjadi pada slametan-slametan yang lain seperti slametan menurut siklus hidup manusia, slametan memperingati hari-hari besar (Jawa dan Islam) dan slametan besih desa atau sedekah bumi yang masih terus bertahan. Proses memudarnya tradisi wiwitan dalam arus modernisasi pertanian yang berlangsung di Desa Sendangrejo. Masih dalam skripsi Khoironi dikatakan, memudarnya tradisi wiwitan dalam arus modernisasi pertanian dimulai dengan perubahan dalam tradisi tersebut. Perubahan ini penulis klasifikasikan dalam tiga fase; fase awal yang lebih bersifat mitis, fase perubahan (mitis-religius) dan fase pemudaran. Pudarnya tradisi wiwitan ini disebabkan oleh pergeseran sistem of belief atau pandangan dunia (world view) masyarakat Sendangrejo akan harapan masa depan keselamatan dan hasil panen yang baik yang semula selalu disandarkan pada kekuatan di luar diri mereka atau terjadinya keteraturan alam numen dan numinous ke pola pertanian modern yang lebih mendasarkan diri pada akal budi modern, birokrasi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Tradisi wiwitan vis a vis modernisasi pertanian akhirnya mengalami demagifikasi, demitologi dan rasionalisasi yang kemudian memudar karena merasuknya kesadaran modern, mode of production kapitalistik yang menolak imperatif-imperatif tradisional dan pengaruh kuat media komunikasi massa serta institusi-institusi pendidikan5

Pada era modern yaitu orde baru, di Indonesia ilmu pengetahuan dan tekonologi pertanian masih berorientasi pada kepentingan dan kekuasaan. Seperti dalam jurnal Sadono dikatakan, Pada era Orde Baru, pembangunan pertanian yang dikenal dengan revolusi hijau telah dimanfaatkan oleh kepentingan pemerintah untuk tujuan peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan khususnya padi untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat. Seiring dengan itu, penyuluhan pertanian juga ikut berubah. Jika semula penyuluhan ditekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang lebih baik, berubah menjadi tekanan pada alih teknologi yakni mengusahakan agar petani mampu meningkatkan produktivitas dan produksinya terutama padi. Akibatnya petani menjadi tergantung, tidak mandiri dan kelembagaan lokal banyak yang kurang berfungsi atau bahkan hilang. Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma dari paradigma lama yang lebih menekankan pada alih teknologi ke paradigma baru yang mengutamakan pada sumberdaya manusianya, yang dikenal dengan pendekatan farmer first, atau “mengubah petani” dan bukan “mengubah cara bertani”, yang memungkinkan terjadi pemberdayaan pada diri petani6.


Daftar Pustaka : 
2. Hardiman, F. B, 2009, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskurus Jurgen Habermas.

3. Hardiman, F. B, 2004, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan kepentingan Bersama Jurgen Habermas,
4. Tri Pranadji, 2010. Sejarah PolitikDan Dinamika Agraris Kawasan Timur Indonesia, Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No. 2

5. AHMAD KHOIRONI, 2008. TRADISI WIWITAN DALAM ARUS MODERNISASI PERTANIAN
6. Dwi Sadono, 2008. PEMBERDAYAAN PETANI:PARADIGMA BARU PENYULUHAN PERTANIAN DI INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar