Selasa, 22 November 2016

Kota dan Dana Desa Harapan Mengurangi Urbanisasi

Berlanjutnya estafet pemerintahan di tangan presiden Jokowi, pada tahun 2015 kemarin rencana pemerintah memberikan dana yang disalurkan ke Desa akan terealisasikan secara bertahap atau yang dimaksud dengan Dana Desa. Presiden mengharapkan dana desa dapat menjadi dana untuk roda perekonomian desa. Seperti yang dilansir dari laman Kompas.com (beberapa bulan yang lalu), Untuk tahun 2015 dana desa yang diberikan yaitu 600 hingga 800 juta setiap desa dan ditahun berikut-berikutnya hingga trilyunan. Dengan demikian apa yang dilakukan pemerintah tidak main-main dan jika kedepannya perekonomian desa berhasil berkembang pesat maka tidak menutup kemungkinan dapat mengurangi lajur Urbanisasi.

Berbicara mengenai Urbanisasi, beberapa waktu yang lalu penulis pernah berbincang-bincang dengan salah satu penjual di warung makan daerah salah satu desa kab. Malang. Saat itu penulis bertanya mengenai keuntungan yang bisa didapatkan dalam sehari. Ibu-ibu penjual di warung makan tersebut seolah pesimis, beliau menjawab bahwa di desa untuk cari uang sulit dengan berjualan tetapi kalo mencari sayur-mayur itu mudah didapatkan. Pernyataan-pernyataan seperti itu dari masyarakat acap kali kita dengar yang bisa menjadi salah satu motivasi/ mindset hijrahnya masyarakat desa ke kota agar bisa mendapatkan uang yang banyak.


Jika kita kembali pada masa lalu bahwa sebenarnya sekelompok orang melakukan cocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Namun di Indonesia, masuknya kolonialisme belanda yang dinaungi oleh kelompok dagang VOC membuat perkenomian pertanian yang dahulunya Subsisten menjadi dengan cara ekonomi modern kapitalis. Di dalam buku Involusi Pertanian milik Cliffort Gertz dijelaskan bahwa system tanam paksa menjadi siasat fiskal yang dimulai dilakukan oleh seorang bernama Van Den Bosch pada tahun 1700an. Sistem tanam paksa yang sesungguhnya harus dijalankan adalah petani dibebaskan dari pajak tanah dan sebagai gantinya harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah pada seperlima luas tanahnya atau sebagai alternatif lain dengan bekerja selama 66 hari setiap tahun di perkebunan-perkebunan milik pemerintah atau dalam proyek lain….. (Geertz: 1976: 57). Cara lainnnya yang dilakukan oleh belanda untuk memperlancar usahanya, dengan membuat perkantoran administratif, transportasi, akses jalan, gereja, pelayanan jasa (dokter, rumah sakit, tentara), dll hingga akhirnya membentuk pusat pemerintahan demi keberlangsungan kolonialisme. Bentuk cara-cara usaha yang dilakukan belanda bisa menjadi cikal-bakal perkotaan. Di dalam pabrik-pabrik industri gula, rokok, dll yang menjadi buruh adalah rakyat pribumi dan disektor pelayanan jasa rendahan juga menggunakan tenaga dari rakyat pribumi. Artinya disini mulai ada peralihan sektor pekerjaan dari agraris ke bidang jasa. Hal ini seperti apa yang terjadi di perkotaan dengan banyak pekerjaan yang mendominasi sektor jasa.

Pada masa pemerintahan Soeharto di era orde baru sangat digencarkan pembangunan nasional, salah satunya yaitu pembangunan ekonomi yang dinilai pada saat itu merugikan sektor ekonomi rakyat karena dianggap menghamba besar pada pembisnis besar. Penerapan sentralisasi juga membuat kesenjangan antara desa dan kota. Banyak sektor UKM dan koperasi tidak berjalan sesuai dan tidak berkembang. Dengan demikian ekonomi desa menjadi melemah walaupun negara ini pernah swasembada beras ke luar negeri. Dari sini lajur urbanisasi dimulai, bagaimana masyarakat desa merasa tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi maka mereka melihat masyarakat desa yang lain yang sudah sukses di kota sehingga dampaknya banyaknya arus urbanisasi. Disamping itu faktor kedua dari urbanisasi adalah peran tengkulak dalam ekonomi pertanian yang merugikan para petani. Disini pemerintah juga berkewajiban untuk memberikan ruang kepada para petani untuk memasarkan hasil produksi panennya dan dapat memutus rantai tengkulak serta dapat mengontrol jalannya Dana Desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar