Jumat, 01 Juli 2016

Pluralitas di INDONESIA (studi kasus Tionghoa dan Pribumi)




        Pada masyarakat dahulu alkulturasi budaya antara Jawa dan Tionghoa seperti hal yang biasa, perubahan terjadi ketika ada sekelompok membuat stigma yang berbeda yaitu ketika Belanda masuk membuat perpecahan antara kaum Tionghoa, Arab dan pribumi baik dari sisi budaya dan ekonomi yang mengharuskan dipisah. Pada golongan Arab pernah terjadi perang Diponegoro yang menjadikan sentimen agama bisa menjadi alat persatuan sehingga Belanda berpikir harus menggolongkan rakyat jajahannya. Pada golongan Tionghoa diberi keleluasaan berekonomi oleh Belanda dengan pajak yang tinggi sehingga hal ini yang membuat persepsi buruk seperti jika kaum Tionghoa sukses berekonomi maka kaum pribumi harus iri. Kaum Tionghoa yang tidak berekonomi mempunyai nasionalisme sendiri bahwa tanah yang didudukinya adalah tanah mereka.

         Pada masa pra kemerdekaan, tokoh seperti HOS Cokroaminoto mencoba untuk mempersatukan kaum Tionghoa dan pribumi. Di zaman rezim Soekarno kaum Tionghoa dan pribumi hampir tidak ada perbedaan namun ketika TNI mulai mempunyai andil yang besar membuat hubungan Indonesia dengan Rusia dan Republik Rakyat Cina berbahaya, munculah G30S PKI. Masuk orde baru kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berpolitik dan adanya pembatasan budaya Tionghoa tetapi mempunyai keleluasaan dalam bidang ekonomi. Pernah terjadi naturalisasi kaum Tionghoa dengan cara mengganti nama keindonesiaan. Pada Orde Baru kaum Tionghoa yang dulunya pada masa orde lama mengikuti partai komunis terdapat pembatasan dalam hal sosial dan politik masa Orde Baru. Sampai sini terlihat, cara yang dipakai orde baru hampir sama pada masa Belanda terhadap kaum Tionghoa yaitu politik, ekonomi dan pemerintah memunculkan adanya kecemburuan sosial antara kaum Tionghoa dan pribumi.

Di Malaysia kasus kaum Tionghoa dan pribumi diselesaikan dengan cara asimilasi. Saat ini kaum Tionghoa menganggap bahwa menikah dengan kaum pribumi sebagai pertentangan maka untuk pluralitas masih rentan di Indonesia artinya masih proses pengujian. Selain studi kasus mengenai kaum Tionghoa dan Pribumi, kasus Sampit dan Madura merupakan lanjutan pluralitas yang masih rentan di Indonesia adalah akibat program transmigrasi pada masa orde baru yang tidak melihat sisi sosial dan politik sehingga memunculkan permasalahan sosial. Peran sosiologi adalah melihat kerentanan dalam hal pluralitas sehingga dapat mempengaruhi kebijakan dari pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar