Jumat, 01 Juli 2016

“KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi)” Dalam Pandangan Sosiologis – (Ditulis pada tahun 2015)







Histori awal pembentukan KPK dimulai dari masa setelah reformasi terjadi. Adanya ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap semua institusi berbau pada masa orba. Rezim kekuasaan presiden Soeharto membuat muak semua lapisan masyarakat karena saat itu ketimpangan sosial terjadi dimana-mana termasuk korupsi tetapi selama 30 tahunan kekuasaan berlangsung seolah-olah tidak terjadi apa-apa namun realitanya sebaliknya. Setelah pergerakan mahasiswa 98 berhasil membuka kunci demokrasi, lembaga institusi yang sebelumnya biasa menangani kasus-kasus korupsi yaitu lembaga kepolisian seolah-olah tidak dipercaya lagi. Pengaruh terbentuknya KPK juga dikarenakan banyaknya laporan masyarakat sering tidak dilanjuti, yang kedua penanganan berlarut-larut dan ketiga penanganan justru untuk melindungi hak yang lebih diuntungkan (penguasa).

Korupsi pada masa orde baru sudah seperti budaya dimana faktor internal seperti keegoisan dan keserakahan dari penguasa terasa oleh rakyat. Berkaca pada sejarah, aliran Culturalis menyatakan bahwa akar permasalahan dari korupsi di Indonesia sudah ada sejak feodalisme. Contohnya yaitu ketika bangsa kita dahulu sebagian besar masih menganut sistem kerjaaan hindu/ budha, tanah seolah-olah menjadi sistem kasta. Penguasaan tanah oleh pihak kerajaan kepada rakyat biasa sudah memperlihatkan adanya korupsi pada zaman itu. Aliran Culturalis kedua menyatakan korupsi sudah seperti tindakan Komunalisme adalah tindakan setiakawan atau praktek yang dianggap sebagai bentuk perwujudan dari komunalisme (kebersamaan). Sebagai contoh di suatu lembaga organisasi melakukan open recriuitmen panitia perlombaan, karena dari salah satu peserta mengenal yang mengadakan open recruitment maka si peserta diperlancar agar diterima menjadi panitia lomba, begitu juga mempengaruhi yang lainnya. Tidak jarang hal-hal seperti itu sudah menjadi membudaya di masyarakat kita. Ketiga, aliran Culturalis mengenai sistem patron klien yaitu baik pihak yang diatas dan yang dibawah patron menjadi penentu klien yang mengikuti dan meniru. Sebagai contoh, karena suatu bos di perusahaan melakukan korupsi waktu dan tidak mendapatkan sanksi apa-apa maka bawahannya melakukannya hal yang sama juga. Jika merujuk catatan perkuliahan beberapa waktu yang lalu dikatakan bahwa aliran parsonian (fungsionalisme/ sistem sosial menjadi berjalan), dengan adanya korupsi menjadi keseimbangan sosial jika tidak ada gerakan sosial anti korupsi yang semestinya dilakukan melalui pendidikan  tetapi hal ini memerlukan waktu yang lama.

Di era modern ini, korupsi tidak lagi dilakukan dengan cara fisik tetapi memakai akal sehat. Ciri-ciri korupsi pada saat ini kebanyakan dilakukan lebih dari 1 orang guna memperlancar. Kedua bersifat rahasia artinya keterbukaan menjadi hal sensitif. Ketiga melibatkan kewajiban dan keuntungan timbal balik yaitu tidak selalu berbentuk uang, bisa bentuk yang dijanjikan seperti kekuasaan. Keempat memiliki kemampuan yang tegas dan dapat mempengaruhi keputusan tersebut (Syed Husein Al Attas : 1981). Sehinga dari ciri-ciri korupsi yang sudah dijelaskan menimbulkan jenis-jenis tipologi korupsi yaitu :
1. Korupsi Transaktif
2. Pemerasan
3. Defensif/ mempertahankan diri
4. Invensif, tanpa ada keuntungan langsung tapi keuntungan yang diharapkan dikemudian hari (gratifikasi).
5. Nepotisme
6. Otogenik/ Dilakukan sendiri
7. Korupsi dukungan, mendukung/ membela pihak lain untuk melakukan korupsi

Dari beberapa masalah yang terjadi maka masyarakat ingin adanya sebuah lembaga/ institusi baru yang bisa dipercaya dalam melakukan tindak pidana korupsi. Lalu munculah lembaga Ad hoc (yang kemudian menjadi KPK) untuk mengembalikan kepercayaan (Trust) kepada masyarakat. Baik trust terhadap abstract system maupun trust terhadap personal. Sebenarnya untuk saat ini jika KPK dikatakan menjadi lembaga yang dibentuk untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga sebelumnya tidak juga dibenarkan. Peran KPK lebih sebagai upaya efektif dan efisien untuk membantu pemberantasan korupsi oleh lembaga yang ada sebelumnya.

KPK sebagai lembaga yang independen juga mempunyai tugas dan wewenang seperti berkoordinasi dengan institusi-institusi publik. Kedua melakukan supervisi/ mengevaluasi. Ketiga melakukan penyidikan dan penuntutan. Keempat melakukan tindakan pencegahan korupsi dan yang terakhir melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Di dalam website KPK dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. (lihat di http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk). Dengan begitu diharapkan adanya lembaga KPK dapat melaksanakan dengan independen, artinya dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya KPK tidak dipengaruhi dari pihak manapun. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. Yang menjadi dari sasaran KPK adalah melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Kedua mendapat perhatian masyarakat.

Perkembangan KPK semakin ke sini semakin parah. Diwalai dengan KPK jilid 1 dan 2. Pada KPK jilid 2 yang saat itu masih diketuai oleh Antashari Azhar, kasus korupsi yang hangat ditangai kala itu melibatkan Anggodho Wijoyo dan salah satu petinggi POLRI. Namun yang saat itu heboh dalam media massa pemberitaan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Anthasari Azhar dan kasus korupsi Anggodho Wijoyo seperti lenyap hilang. Tetapi disebu-sebut bahwa kasus pembunuhan yang melibatkan Anthasari Azhar bagian dari manipulasi kasus yang ada dikarenakan melibatkan petinggi POLRI. Ini yang memunculkan analogi dimasyarakat mengenai Cicak VS Buaya. Ketika KPK baru-baru ini melepas ketuanya yaitu Abraham Samad dikarenakan isu yang ada KPK pada zaman Abraham menangani kasus pembrantasan korupsi yang dilakukan oleh calon petinggi POLRI yang berberapa waktu lagi akan dilantik oleh POLRI untuk menempati jabatan tertinggi di POLRI tetapi yang ada malah KPK menyelidiki kasus tersebut dan dinyatakan bahwa calon petinggi POLRI tersebut terlibat dalam kasus korupsi. Stigma Cicak VS Buaya terus berlanjut, tidak mau kalah POLRI membuka kembali kasus-kasus yang sudah pernah dilakukan oleh jajaran KPK untuk mematikan KPK (seperti kasus Bambang Wijayanto dan Abraham Samad. Ancaman untuk KPK tersendiri dari masa ke masa pimpinan memiliki ancaman tersendiri. Isu yang sedang hangat mengenai KPK saat ini adalah mengenai revisi UU KPK dimana media massa menilai revisian tersebut untuk memperlancar para eksekutif dan legislator negara untuk melakukan korupsi. Sebagai masyarakat yang baik seharusnya kita menjadi kontrol lembaga-lembaga dan institusi negara guna memperoleh keteraturan dalam masyarakat.

Daftar Pustaka
http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk
(Syed Husein Al Attas, Sosiologi Korupsi, LP3 ES, 1981)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar