Kamis, 30 Juni 2016

Mengurai Praktek Korupsi dalam penempatan PRT (Pembantu Rumah Tangga) Migran Ke Luar Negeri

Maraknya pemberitaan di media mengenai kasus TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dianiaya atau menganiaya majikannya sering mewarnai negeri ini, ini tidak lepas karena sebagian besar TKI bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Pendidikan para TKI kebanyakan paling maksimal hanya lulusan SMP atau SMA, pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki tidak seimbang jika bekerja di luar negeri. Kesiapan mereka hanya pas-pasan yang biasanya mereka dapatkan dari pelatihan saat berada di biro Penyalur Jasa TKI. Tidak jarang dapat ditemui para Penyalur Jasa TKI ini melakukan tindakan penyuapan untuk memperlancar proses pemberangkatan para calon TKI yang kadang sampai melebihi kuota yang diberikan. Kong-kalikong atau kolusi antara birokrasi dan perusahaan penyalur menjadi kunci rantai kebijakan PRT Migran. Tetapi hal yang paling koruftif adalah penempatan pejabat-pejabat tinggi yang semata-mata didasarkan pada kepentingan politik, dan bukan pada kapabilitas dan keahlian.
Dengan banyaknya buruh migran di Luar negeri sudah seperti menjadi masalah yang hingga kini tak nampak ujungnya, ditambah dengan kinerja badan pemerintahan yang menangani masalah migran dalam melaksanakan tugasnya masih perlu dipertanyakan. Contoh kasus permasalahan TKI adalah berawal dari kasus ruyati seorang TKI dari Indonesia yang dikenai hukuman pancung di luar negeri. Dari pihak pemerintah Indonesia sendiri hanya bisa mengusahakan agar hukuman pancung itu tidak dilaksanakan, dengan cara advokasi namun untuk penebusan biaya yang konon katanya sampai trilyunan tidak dapat terpenuhi dan alhasil ruyati harus dihukum pancung. Pada saat pemerintahan presiden SBY dengan sangat meyakinkan menyatakan bahwa TKI kini telah dihormati dan dilindungi hak-haknya. Hal itu ia sampaikan ketika sidang ILO (International Labour Conference) yang ke 100 yang diselenggarakan tanggal 3-8 juni 2011 di Geneva. Ada 2 hasil dalam konvensi tersebut, pertama memberikan pengakuan secara hukum bahwa PRT hak-haknya harus dijamin secara hukum. Kedua memberikan jawaban PRT yang senantiasa mengalami diskriminasi dan pelanggaran HAM secara sistematis selama bekerja. Sebetulnya yang menjadi masalah kenapa TKI yang bekerja di luar negeri kebanyakan mendapat masalah karena menurut BPK proses rekrutmen TKI belum didukung dengan proses yang baik dan transparan sehingga tidak ada jaminan kepastian, keadilan, dan perlindungan TKI.
Korupsi kekuasaan jika dikaitkan dengan kasus ruyati adalah praktek korupsi yang berbasis pada kebijakan yang menghabiskan anggaran tetapi hasilnya untuk perlindungan buruh migran tidak signifikan. Menurut hasil investigasi migran care, ruyati dikenai hukuman pancung namun penanganan dari pemerintah Indonesia terkesan lambat termasuk didalamnya pemerintah dalam membela ruyati. Selain itu juga migran care juga mempertanyakan efektivitas satgas (satuan tugas) untuk menangani kasus WNI/TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati disana. Satgas juga memiliki beberapa tugas pokok terhadap TKI di luar negeri. Namun,  kewenangan pokok yang diberikan kepada satgas sebenarnya mengundang pertanyaan tentang anggaran yang dialokasikan untuk operasional Satgas. Negara telah menghabisakan banyak anggaran untuk perjalanan dan biaya tinggal diluar negeri yang dilakukan Satgas.  Dan yang terjadi adalah pemborosan anggaran negara dengan hasil yang minim, bahkan kasus dan masalah TKI tidak berkurang. Presiden, dengan kekuasaannya mestinya dapat memilih orang yang layak untuk memimpin dan memiliki tanggung jawab namun otoritas ini tidak digunakan dengan baik, sehingga menunjuk orang yang tidak memiliki kapabilitas di bidangnya.
Kesimpulan yang dapat disampaikan adalah korupsi dalam wajah penempatan dan perlindungan TKI sudah bertahun-tahun terjadi dan cendrung dibiarkan. Tidak hanya itu ada persengkongkolan antara pemerintah dan PJ TKI berlangsung. Dan dua-duanya disini mendapatkan keuntungan finansial, namun tidak diimbangi dengan regulasi yang protektif. Dari hal inilah maka sering terjadi pelanggaran hak-hak dasar buruh TKI secara massif. KPK disini seharusnya juga harus lebih progresif membrantas praktek korupsi tidak hanya dalam lingkungan politisi tetapi juga dalam penempataan dan perlindungan TKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar